Karena itu, kepada seluruh hadirin yang hadir, Sukro mengajak mereka untuk menghayati dan memahami sepenuhnya apa yang disampaikan narasumber dalam sosialisasi tersebut untuk kemudian disampaikan kepada seluruh masyarakat sesuai ladang pengabdian masing-masing.
Sementara itu, Alfisahrin mengawali penyampaiannya dengan menjelaskan bagaimana kompleksitas dan tantangan faktual kebangsaan saat ini.
Di mana, terdapat realitas objektif di tengah masyarakat tentang masih lemahnya penghayatan, kesadaran, dan pengamalan nilai-nilai agama yang moderat (inklusif) dan relevan dengan situasi historis, sosial dan kultural bangsa Indonesia.
Selain itu, pemahaman keagamaan yang radikal dan keliru juga meluas, sehingga mengancam solidaritas kebangsaan, toleransi antar umat beragama dan keutuhan nasional. Termasuk menguatnya politik identitas, seperti timbulnya fanantisme kedaerahan yang primordial yang lebih kuat dan kesenjangan sosial ekonomi yang semakin tajam antara pusat dan daerah.
“Kita juga masih menemukan kurang berkembangnya pemahaman, kesadaran, dan penghargaan atas nilai-nilai kebhinekaan dan kemajemukan sebagai simbol entitas negara,” katanya.
Menurut Alfisahrin, minimnya role model dan keteladanan dalam sikap, perilaku, dan tindakan yang terpuji dari sebagian elite sebagai pemimpin dan tokoh bangsa, juga adalah tantangan factual saat ini.
Begitu juga dengan belum efektif dan tidak berjalannya proses low enforcement yang optimal dalam memberikan rasa adil, kemanfaatan, dan kepastian hukum di tengah masyarakat.
Di sisi lain, pengaruh globalisasi yang luas menyebabkan relasi antar bangsa berlangsung dalam persaingan yang ketat dan tajam.