Bahkan di akhir ekspedisinya di pulau lombok, Denek Perwangse berpesan kepada warganya kala itu. Jika ingin menemuinya, datang kepetilasan yang dibuatnya dalam bentuk situs menyerupai batu menhir,” ungkap Haji Mundri.
Selain itu untuk keperluan berwudhu dan mandi, dan lain-lain. Denek Perwangse juga membuat saluran air dari mata air yang tidak diketahui asal muasalnya. Pancuran mata air itu hingga kini tetap mengalir meskipun sudah berusia berabad-abad.
“Denek Perwangse juga meninggalkan kumpulan kotbahnya dlm bentuk tulisan arab diatas gulungan kulit onta,” ujar Haji Mundri sembari memperlihatkan beberapa bukti artefak peninggalan Denek Keramat yang ia jaga hingga kini.
Dalam beberapa kesempatan, Denek Perwangse sering kali berusaha menujukkan sisi keramat miliknya. Dirinya pernah berkali-kali dibakar atau membakar dirinya. Namun, api yang membakar dirinya tersebut seperti tak mempan.
Masyarakat terhibur dengan tingkah Denek Perwangse. Belakangan, setelah syariat islam mulai dipahami, masyarakat mulai sadar bahwa yang dilakukan Denek Perwangse tersebut merupakan salah satu sisi ‘keramatnya’.
Kini, areal kawasan yang disebut menjadi tempat bertafakkur Denek Perwangse tersebut masih dirawat dan disebut memiliki nilai keramat oleh masyarakat setempat. Tempat itu lazim digunakan sebagai lokasi roah adat pada momen-momen tertentu.
Tak hanya itu, lokasi tersebut juga ramai didatangi oleh para peziarah yang mengetahui kehebatan dan kekaromahan Denek Perwangse. Para peziarah tersebut tak hanya berasal dari masyarakat Lombok, tetapi juga berasal dari luar daerah.