Sekali lagi, di sini penyair melukiskan bentuk pencitraan dari penggelisah (baca aku-lirik) karena gejolak batinnya terombang-ambing terkait kehilanganmu (dia-lirik) yang menyebabkan aku-lirik senantiasa didera gelisah oleh polah tingkah si dia yang tak kunjung datang kabar berita dari seberang. Pertanyaan mendasar untuk itu, adalah apakah sebab-akibat dalam kehilangan itu? Di sini aku sebagai penikmat betul-betul diberi ruang yang luas untuk memprediksi faktor sebab-musabab dalam kehilangan anakku yang mudik tanpa permisi sama Abahnya.
Dari sini pulalah, aku boleh acungi jempol buat Pujangga Asakota karena dia selalu memberi dan memperhatikan lingkungan sekitar, kemudian menggugat segala yang menjadi keprihatinannya dalam kehidupan orang-orang di sekitarnya terutama perkara kehilangan pada umumnya dan kehilangan kekasih anakku khususnya. Segala problem di lingkungan seperti cinta misalnya, didalami, diendapkan, kemudian diangkat dalam dunia cipta. Apalagi jika yang dikemas bermuara pada hati dan jiwa. Ya, insya Allah akan memberi nilai yang terbaik, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Mengapa nian? Pasalnya, mencintai adalah kerelaan memberi tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Seorang pecinta sejati adalah orang yang suka memberi dan hanya mengharap balasan kebaikan itu dari Allah SWT dan bukan dari manusia. Manusia tidak pernah bermimpi untuk jadi manusia. Tetapi karena cinta-NYA, Allah memberiku anak semata wayang meski kemudian anakku dimudikkan lebih dahulu olehNYA Sang Pemberi Cinta Sejati.(***)