Sekarang ada pertanyaan baru lagi, darimana sumber pertumbuhan keinginan untuk belanja daerah yang jauh meningkat, dan melampui potensi pendapatannya?
Jawaban pertama, adanya belanja dan kegiatan daerah yang tidak direncanakan secara matang, tapi tiba-tiba nyelip menjadi agenda strategis daerah. Misalnya MXGP, kegiatannya bagus, tapi menguras sumber daya daerah, perhatian birokrasi dan sumber daya keuangannya. Lho, bukannya kegiatan itu tidak menggunakan APBD? Sebuah kegiatan yang “disponsori” daerah, dan tidak ada nomenklaturnya pada APBD niscaya menggunakan dana non-budgeter. Apakah itu sehat?
Tindakan pemerintah non-budgeter, itu menunjukkan buruknya perencanaan dan tata kelola keuangan daerah. Menurut Anda, memobilisasi dukungan acara, pergerakan ribuan ASN untuk menonton acara MXGP, dukungan logistik untuk pelaksanaan MXGP, itu bersumber dari dana charity (shodaqoh dan yang semacamnya) atau dari sponsor yang baik hati? Come on…..
Nah ini jawaban kedua, yang mungkin “make sense” dengan pemberitaan yang menghangat akhir-akhir ini. Membengkaknya belanja daerah, terjadi karena membengkaknya kegiatan direktif kepala daerah (khususnya gubernur) dan aspirasi pokir dari para anggota dewan. Saking besarnya pembengkakan belanja tersebut, peningkatan jumlahnya melebihi kemampuan pendapatan daerah untuk tumbuh. Mungkin bahasa yang lebih kasar dari fenomena ini, munculnya sifat “greedy”, kerakusan pada fasilitas kekuasaan yang diberikan.