Oleh karena fasilitas dan pengaruh Terdakwa bersama Eliya kepada MM alias Dedu sehingga memperoleh paket-paket pekerjaan di lingkungan Pemkot Bima baik menggunakan PT. RJK maupun menggunakan perusahaan lain yang dipinjam benderanya, maka setelah MM alias DEDI memperoleh termin pembayaran sebesar Rp2.7 miliar atas nama PT RJK tanggal 1 November 2019 sebagai pembayaran uang termin pertama dari proyek Pelebaran Jalan Nungga Toloweri Cs yang dikerjakan oleh PT RJK di Dinas PUPR Kota Bima dengan kontrak Nomor 07.03/3.3/PPK-BM/DPUPR/VII/2019.
Kemudian uang tersebut diberikan kepada Terdakwa maupun Eliya alias Umi Eli yang antara lain, pada tanggal 5 November 2019 dilakukan penarikan secara tunai uang sebesar Rp1 miliar oleh ROHFICHO ALFIANSYAH S (AL) dari rekening PT RJK atas perintah dari Nafilah (istri MM) dan uang tersebut kemudian dibawa ke rumah pribadi dan dinas Terdakwa lalu bertemu dengan Eliya yang selanjutnya memerintahkan agar uang tersebut disetor tunai ke Rekening BNI 3332333373 atas nama PT RJK lainnya yang pengendaliannya dilakukan oleh Eliya alias Umi Eli.
Pada tanggal 6 November 2019 dilakukan penarikan secara tunai uang sebesar Rp350 juta oleh AL dari rekening PT RJK lalu dibawa ke rumah pribadi dan dinas Terdakwa kemudian atas perintah dari Nafilah uang tersebut diduga dibelikan beberapa perhiasan yang selanjutnya dibawa ke rumah Dimas dan pribadi Terdakwa untuk diberikan Eliya.
Pada tanggal 11 November 2019 dilakukan penarikan secara tunai uang sebesar Rp.500 juta oleh AL, selanjutnya uang tersebut dimasukan ke rekening BNI atas nama PT RKL nomor rekening 3332333373.
Kemudian Terdakwa memerintahkan MM alias Dedi agar mengeluarkan cek senilai Rp.500 juta untuk pembelian 1 unit mobil Toyota VIOS sebagai hadiah ulang tahun isterinya, Eliya.
Keseluruhan penerimaan uang terkait pengaruh dan fasilitas dari Terdakwa dan Eliya alias Umi Eli dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Bima yaitu penerimaan uang dari Safran dan MM alias Dedi seluruhnya sejumlah Rp1.950 miliar.
Sejak menerima uang sejumlah Rp1.950 miliar tersebut, Terdakwa selaku Penyelenggara Negara yaitu selaku Wali Kota Bima tidak pernah melaporkan penerimaan uang tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan batas waktu 30 hari sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, padahal penerimaan-penerimaan itu tidak ada alas hak yang sah menurut hukum.
Perbuatan terdakwa eks Wali Kota Bima bersama-sama istri terdakwa diduga menerima uang seluruhnya sejumlah Rp1.950 miliar tersebut adalah berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas Terdakwa Muhammad Lutfi selaku Penyelenggara Negara yaitu selaku Wali Kota Bima sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Pasal 76 ayat(1) huruf e Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Perbuatan Terdakwa tersebut merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
(*)