Hal itu dibuktikan dengan adanya tsunami aceh, longsor dan banjir yang melanda seluruh penjuru tanah air, termasuk Kota Bima pun pernah mengalami kisah pilu ditimpa bencana banjir bandang tahun 2006 lalu.
Berangkat dari hal itu lanjutnya, Indonesia tidak lagi disebut dengan supermarket bencana, melainkan disebut laboratorium bencana.
“Kita bisa belajar, kita bisa melawan dengan mitigasi bencana, kesiapsiagaannya, hingga pemerintah pusat sampai daerah begitu sigap menghadapi bencana, sehingga menjadikan Indonesia sebagai tempat laboratorium bagi dunia untuk belajar menghadapi dan menangani bencana,” jelas Ade.
Ade menjelaskan, kaitan dengan project ini, Indonesia juga saat ini menjadi urutan ke 14 di dunia yang memiliki resiko iklim.
Permukaan air laut saat ini meningkat dibanding 20 tahun yang lalu, begitu juga terumbu karang terjadi adanya perubahan pemutihan terumbu karang sehingga ikan kehilangan rumahnya.
Ia menambahkan, berdasarkan data dari indeks resiko bencana Indonesia, resiko bencana provinsi NTB masuk pada skala menengah.