Pada bulan November, ritual akan berlangsung empat kali yang digelar setiap Senin. Masyarakat berbondong-bondong mengunjungi makam dan berdoa sebagai ucapan rasa syukur dan meminta berkah Allah SWT. Selain bulan November, ritual adat biasanya juga digelar pada akhir Februari.
Ada juga ritual adat bernama Saur Sangi. Di sana, masyarakat yang sebelumnya telah terkabulkan hajatnya akan datang ke makam sebagai bentuk rasa syukur telah tercapai atau terkabulkan keinginannya. “Pada makam juga biasa digelar ritual ada saat ada anak desa yang akan dikhitan (disunat). Akan ada proses adat yang digelar,” ujarnya.
Sebelum dikhitan, anak tersebut akan dibawa ke makam dengan diantar keluarga, dan menggelar tradisi pemotongan selendang. Uniknya, makam tersebut tidak sembarang dapat dimasuki peziarah. Harus ada ritual khusus mengelilingi makam sebanyak sembilan kali, sebelum dapat memasuki makam.
“Namun jika peziarah tidak bisa mengelilingi makam sebanyak sembilan kali, diberikan keringanan tujuh kali atau tiga kali,” ujarnya. Masyarakat meyakini dengan mengelilingi makam, mengingat kembali sebelum manusia lahir ke dunia, manusia berada pada rahim ibu dan suatu saat akan meninggal dunia. Hidup di dunia yang singkat tersebut harus diisi dengan berbuat kebaikan sebagai bekal di akhirat.
Jika ritual mengelilingi makam tidak diindahkan peziarah, sering ditemui fenomena kesurupan seorang peziarah. Itu membuat juru kunci makam akan kerepotan menangani. Lalu Jasmawadi mengungkapkan makam tersebut sebenarnya merupakan petilasan Denek Mas Suryadiningrat. Konon jasadnya menghilang dan tidak pernah muncul.